TNI di Papua: Garda Konstitusi untuk Keamanan dan Keadilan, Bukan Alat Penindasan

1 month ago 9

PUNCAK - Di tengah memanasnya situasi keamanan di Papua, Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menjadi sorotan setelah munculnya ancaman dari kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Kelompok tersebut secara terbuka menolak rencana pembangunan pos militer di beberapa wilayah rawan seperti Puncak Jaya dan mengklaim area tersebut sebagai "zona perang", bahkan mengancam akan menyerang aparat TNI-Polri serta meminta warga non-Papua meninggalkan wilayah itu. Jum'at (8/8/2025).

Pernyataan tersebut menimbulkan keresahan dan salah kaprah di tengah masyarakat. Namun penting ditegaskan bahwa kehadiran TNI di Papua bukanlah bentuk represi, melainkan langkah sah negara yang berlandaskan konstitusi dalam menjaga kedaulatan serta melindungi rakyatnya dari ancaman bersenjata yang kian brutal.

Landasan Konstitusional Kehadiran TNI di Papua

Kehadiran TNI di wilayah rawan konflik seperti Papua bukanlah keputusan sepihak tanpa dasar hukum. Sebaliknya, hal tersebut merupakan mandat konstitusional yang dijalankan sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 30 UUD 1945 ditegaskan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa.

Dasar hukum operasional TNI juga diatur dalam:

* Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dan 4, yang memberi kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan mengamankan wilayah perbatasan.

* Pasal 9 UU yang sama menegaskan hak TNI untuk membangun dan menggunakan infrastruktur demi mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya.

* Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019, yang memperkuat struktur Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dalam merespons ancaman strategis, termasuk konflik bersenjata.

Dengan demikian, pembangunan pos militer di Papua bukan hanya legal, tetapi merupakan tanggung jawab negara dalam menjamin keamanan warganya dari ancaman nyata kelompok separatis.

Melindungi Warga Sipil, Bukan Menindas

Tuduhan bahwa keberadaan pos militer merupakan bentuk militerisasi yang menindas warga sipil sama sekali tidak berdasar. Justru sebaliknya, keberadaan TNI di daerah rawan konflik seperti Puncak Jaya bertujuan untuk:

* Memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat sipil dari serangan kelompok bersenjata.

* Menjaga stabilitas agar pembangunan nasional berjalan tanpa gangguan.

* Mencegah perluasan aksi kekerasan oleh kelompok separatis.

Pendekatan TNI di Papua juga tidak semata berlandaskan kekuatan militer. Dalam kerangka Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat, TNI mengedepankan peran sosial dan kemanusiaan, antara lain:

* Memberikan dukungan pengamanan terhadap program pembangunan di Papua.

* Bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan.

* Mengembangkan komunikasi sosial yang inklusif dengan tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat umum di Papua.

Pendekatan ini adalah refleksi nyata bahwa kehadiran TNI tidak hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga untuk membangun harapan dan mempererat persatuan.

TPNPB-OPM dan Ancaman terhadap Warga Sipil: Pelanggaran Hukum dan HAM

Di sisi lain, tindakan TPNPB-OPM dalam mengancam dan menyerang warga sipil, guru, tenaga medis, hingga pekerja pembangunan infrastruktur adalah tindakan yang tidak hanya keji, tapi juga tergolong pelanggaran hukum berat, baik secara nasional maupun internasional.

Secara hukum nasional, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terutama Pasal 6 dan 9 yang menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan yang menimbulkan teror luas di masyarakat sipil merupakan aksi terorisme.

Dari perspektif hukum humaniter internasional, tindakan TPNPB juga telah melanggar prinsip-prinsip mendasar dalam konflik bersenjata, yaitu:

* Distinction: kewajiban untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil.

* Proportionality: larangan melakukan serangan yang menyebabkan kerugian besar terhadap warga sipil.

* Precaution: kewajiban untuk merencanakan dan menghindari serangan membabi buta.

Ketika sekolah dibakar, guru dibunuh, dan tenaga medis diancam, maka yang sedang diserang bukan hanya negara tetapi masa depan Papua itu sendiri.

TNI: Simbol Negara yang Hadir Melindungi Seluruh Rakyat

TNI hadir di Papua sebagai perpanjangan tangan negara, untuk memastikan setiap jengkal tanah Indonesia tetap aman dan setiap warganya tanpa memandang suku, agama, atau asal daerah merasa dilindungi. Ini adalah bentuk kehadiran negara yang tunduk pada prinsip legalitas, akuntabilitas, dan profesionalitas.

Dalam menjalankan tugasnya, TNI tetap berpegang pada prinsip penegakan Hak Asasi Manusia dan hukum internasional. Langkah-langkah pengamanan di Papua tidak dilakukan secara brutal, melainkan melalui strategi yang terukur dan berbasis pada perlindungan terhadap warga sipil.

Menutup Ruang Teror, Membuka Jalan Damai dan Pembangunan

Pemerintah dan TNI memahami bahwa penyelesaian masalah Papua tidak hanya dapat dilakukan dengan pendekatan keamanan semata. Namun, keamanan tetap menjadi fondasi utama agar pembangunan dan dialog dapat berjalan. Kekerasan bersenjata dan propaganda separatis tidak bisa diberi ruang, karena hanya menambah penderitaan masyarakat Papua sendiri.

Oleh karena itu, kehadiran TNI di Papua bukanlah simbol penindasan, melainkan perwujudan komitmen negara dalam melindungi setiap rakyatnya dari kekerasan, memastikan hak-hak dasar masyarakat terpenuhi, dan menjaga integritas bangsa.

Authentication:

Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono

Read Entire Article
Masyarakat | | | |