Kehadiran TNI di Papua: Mandat Konstitusi, Bukan Penindasan

2 days ago 6

JAYAPURA - Polemik terkait rencana pembangunan pos militer TNI di beberapa wilayah Papua kembali mencuat setelah kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) melontarkan ancaman terbuka. Mereka menolak pembangunan pos TNI, menyebut wilayah tertentu sebagai “zona perang, ” bahkan mengultimatum masyarakat non-Papua agar meninggalkan daerah tersebut.

Namun, pernyataan provokatif tersebut dinilai menyesatkan dan tidak berdasar. Kehadiran TNI di Papua sejatinya merupakan amanat konstitusi, langkah hukum yang sah, sekaligus wujud nyata kehadiran negara untuk melindungi rakyat dan menjaga kedaulatan.

Kehadiran TNI Dijamin Konstitusi

Secara hukum, kehadiran TNI di Papua memiliki landasan kuat:

  • UUD 1945 Pasal 30 menegaskan TNI sebagai alat negara dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

  • UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 7 ayat (2) huruf b, secara jelas memberi mandat kepada TNI untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk mengatasi gerakan separatis bersenjata.

  • Perpres No. 66 Tahun 2019 memperkuat peran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai garda terdepan dalam menangani ancaman strategis.

Dengan dasar itu, pembangunan pos militer di daerah rawan seperti Puncak Jaya bukanlah provokasi, melainkan langkah sah untuk menjamin keamanan rakyat, melindungi pembangunan nasional, dan mencegah aksi kekerasan kelompok separatis.

Pendekatan Humanis, Bukan Militeristik

TNI juga menegaskan bahwa tugas di Papua tidak semata bersifat militer. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua, prajurit di lapangan turut mendukung pemerintah daerah dalam layanan pendidikan, kesehatan, penyediaan kebutuhan dasar, hingga komunikasi sosial dengan masyarakat.

“Pembangunan pos militer bukan untuk menindas rakyat, tetapi justru untuk memastikan rakyat terlindungi. TNI hadir dengan pendekatan humanis, profesional, dan proporsional, ” jelas seorang perwira teritorial Papua.

Ancaman OPM Dinilai Langgar Hukum

Ancaman TPNPB-OPM yang kerap menyasar guru, tenaga medis, pekerja infrastruktur, hingga masyarakat sipil, tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga hukum internasional.

Menurut UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, aksi kekerasan yang menimbulkan ketakutan luas terhadap masyarakat sipil termasuk kategori terorisme. Lebih jauh, tindakan mereka juga melanggar prinsip Hukum Humaniter Internasional, yakni:

  • Distinction (membedakan kombatan dan sipil),

  • Proportionality (tidak menimbulkan kerugian berlebihan bagi warga sipil), dan

  • Precaution (tidak melakukan serangan membabi buta).

Dengan demikian, ancaman OPM tidak dapat ditoleransi dan harus dipandang sebagai tindakan teror yang merugikan rakyat Papua sendiri.

NKRI Hadir untuk Melindungi, Bukan Menakut-nakuti

Pemerintah menegaskan, keberadaan TNI di Papua bukan untuk menciptakan konflik, melainkan menjamin hak dasar setiap warga negara: rasa aman, keadilan pembangunan, dan perlindungan dari kekerasan.

Setiap langkah yang dilakukan TNI tunduk pada prinsip legalitas, akuntabilitas, dan profesionalitas. Kehadiran mereka di Papua adalah representasi nyata negara, yang bekerja untuk rakyat, bersama rakyat.

Kesimpulan

Di tengah ancaman provokasi OPM, masyarakat Papua diingatkan untuk tidak terpengaruh narasi menyesatkan. TNI hadir di Papua bukan untuk menindas, melainkan untuk melindungi. Kehadiran pos-pos militer adalah tameng bagi rakyat sipil, pelindung bagi pembangunan, dan peneguh integritas NKRI di ujung timur Indonesia.

Authentication:

Minggu, 14 September 2025
Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono

Read Entire Article
Masyarakat | | | |