PAPUA - Belakangan ini, kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali melontarkan pernyataan provokatif yang menentang pembangunan pos militer TNI di wilayah Puncak Jaya dan beberapa daerah lainnya. Mereka mengklaim wilayah tersebut sebagai “zona perang” dan mengancam akan menyerang aparat TNI-Polri serta mendesak masyarakat non-Papua untuk meninggalkan wilayah tersebut. Sabtu 3 Mei, 2025.
Namun, tuduhan yang disampaikan oleh kelompok ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang sah. Kehadiran TNI di Papua, termasuk pembangunan pos militer, merupakan langkah yang legal, konstitusional, dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Secara spesifik, beberapa dasar hukum yang mendukung keberadaan TNI di Papua antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 30 yang menegaskan bahwa TNI adalah alat negara dalam menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI.
2. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang memberikan kewenangan kepada TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) untuk mengamankan wilayah perbatasan dan mengatasi gerakan separatis bersenjata.
3. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2019, yang memperkuat struktur Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai garda terdepan dalam menangani ancaman strategis di wilayah tertentu.
Pembangunan pos militer di wilayah Puncak Jaya dan daerah-daerah lainnya bukanlah bentuk provokasi, melainkan bagian dari operasi pengamanan yang sah untuk menjaga stabilitas dan mencegah terorisme serta kekerasan oleh kelompok separatis bersenjata. Hal ini bertujuan untuk:
* Menjamin keselamatan masyarakat sipil
* Melindungi aktivitas pembangunan nasional
* Mencegah penyebaran kekerasan
TNI juga menerapkan pendekatan humanis yang lebih dari sekadar kekuatan militer, melainkan untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan melalui kegiatan sosial, seperti pengamanan wilayah, dukungan terhadap Pemda dalam menyediakan pelayanan dasar, serta membangun komunikasi sosial yang inklusif. Pendekatan ini tercermin dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2020, yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan di Papua.
Menghadapi Ancaman TPNPB-OPM
Di sisi lain, ancaman yang dilontarkan oleh TPNPB-OPM terhadap masyarakat sipil, baik itu serangan terhadap guru, tenaga medis, pekerja infrastruktur, dan fasilitas umum, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Tindakan kekerasan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.
Prinsip-prinsip tersebut mengatur bahwa dalam konflik bersenjata, serangan terhadap sipil yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran adalah pelanggaran. Kelompok separatis ini juga melanggar prinsip Distinction, yang membedakan antara kombatan dan warga sipil, serta prinsip Proportionality, yang melarang penggunaan kekerasan yang tidak sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai.
Kesimpulan:
Kehadiran TNI di Papua bukan untuk menciptakan konflik atau menindas masyarakat, tetapi untuk memastikan kehadiran negara yang sah, menjaga keamanan, serta melindungi hak-hak dasar seluruh warga negara, termasuk masyarakat asli Papua. Setiap langkah yang diambil TNI sepenuhnya sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Upaya TPNPB-OPM untuk menciptakan ketakutan melalui kekerasan bersenjata dan propaganda separatisme harus ditanggapi dengan tegas. Tidak ada tempat untuk kekerasan di dalam negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan integritas wilayah NKRI.
TNI akan terus menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan tanggung jawab, memastikan bahwa kedamaian dan pembangunan di Papua tetap terjaga.
Autentikasi:
Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono