Kemiskinan 2025: Papua Pegunungan Tertinggi, Bali Terendah

1 week ago 16

JAKARTA - Peta kemiskinan Indonesia di tahun 2025 mulai terkuak, menunjukkan gambaran yang kontras antara wilayah barat dan timur. Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, yang memetakan tingkat kemiskinan di 38 provinsi di seluruh penjuru negeri. Angka kemiskinan nasional tercatat sebesar 8, 47 persen, sebuah angka yang menunjukkan sedikit perbaikan dibandingkan periode sebelumnya.

Secara keseluruhan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 mencapai 23, 85 juta jiwa. Angka ini menunjukkan penurunan yang menggembirakan, yakni berkurang 0, 20 juta orang dibandingkan September 2024, dan bahkan lebih rendah 1, 37 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2024. Penurunan ini bagaikan secercah harapan di tengah berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat.

Namun, di balik angka nasional yang membaik, terdapat jurang pemisah yang dalam antarprovinsi. Pertanyaan besar pun muncul: provinsi mana yang masih bergulat dengan angka kemiskinan tertinggi? Berdasarkan data BPS per 25 Juli 2025, jantung hati Indonesia masih berdenyut dengan ketimpangan yang nyata.

Di sisi lain spektrum, Bali berhasil mempertahankan predikatnya sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah, hanya menyentuh angka 3, 72 persen. Keindahan alamnya seolah beriringan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Posisi kedua ditempati oleh Kalimantan Selatan dengan 3, 84 persen, diikuti oleh DKI Jakarta yang mencatatkan 4, 28 persen. Ketiga provinsi ini menjadi bukti bahwa pembangunan ekonomi yang merata adalah sebuah kemungkinan.

Ironisnya, di ujung timur Indonesia, realitasnya sangat berbeda. Papua Pegunungan mencatatkan angka kemiskinan yang sangat mengkhawatirkan, mencapai 30, 03 persen. Bayangkan, hampir sepertiga dari seluruh penduduk di provinsi ini hidup di bawah garis kemiskinan, sebuah kondisi yang tentu saja memilukan.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengingatkan pentingnya pemahaman mendalam tentang data yang disajikan. Ia menjelaskan bahwa dalam pendataan Susenas, fokus utama adalah pada rumah tangga. “Ada sekitar 345.000 rumah tangga yang menjadi sampel pada Maret 2025, ” ujarnya.

Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Ini berarti, sebuah rumah tangga dengan rata-rata 4, 72 anggota dianggap miskin jika pengeluarannya di bawah Rp 2.875.235 per bulan. “Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan, ” tambah Ateng.

Penting untuk dicatat, angka garis kemiskinan yang dirilis BPS adalah rata-rata nasional. Setiap daerah memiliki garis kemiskinannya sendiri, yang sangat dipengaruhi oleh harga kebutuhan pokok dan pola konsumsi masyarakat setempat. Perbedaan ini turut memperjelas mengapa angka kemiskinan bisa sangat bervariasi antarprovinsi.

Menariknya, data BPS juga menunjukkan perbedaan signifikan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Tingkat kemiskinan di perdesaan tercatat sebesar 11, 03 persen, sementara di perkotaan mencapai 6, 73 persen. Yang lebih mencengangkan, terjadi tren yang berlawanan: tingkat kemiskinan di perdesaan justru mengalami penurunan, sementara di perkotaan justru mengalami kenaikan. Fenomena ini tentu saja membutuhkan analisis lebih lanjut untuk memahami akar penyebabnya dan merumuskan solusi yang tepat sasaran. (PERS)

Read Entire Article
Masyarakat | | | |