Kemenag Dorong Integrasi Fikih dan Astronomi dalam Penentuan Hilal

16 hours ago 4

loading...

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Abu Rokhmad, mengungkapkan pentingnya integrasi fiqih dan astronomi dalam penentuan hilal agar syiar Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha tetap terjaga di tengah kemajuan teknologi modern.

Hal itu disampaikannya dalam Forum Perdana Ehwal Islam bertema “Meniti Waktu” yang berlangsung di Studio Utama Yusuf, Kompleks Islam Putrajaya, Malaysia, Kamis (24/7/2025).

Acara yang disiarkan langsung RTM TV1 itu menghadirkan panelis dari tiga negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura). Selain Abu Rokhmad, hadir perwakilan dari Kementerian Ehwal Agama Brunei Darussalam, Muhammad Zulhilmi Mohd Jefri dan anggota Jawatankuasa Fatwa dan Falak Singapura, Firdaus Yahya. Diskusi dipandu Zakaria Othman dan diikuti secara luas melalui siaran televisi maupun platform digital.

Baca Juga: 4 Ayat Al Quran tentang Wanita Akhir Zaman, Faktanya Kian Nyata

Abu Rokhmad mengatakan, hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan visual hilal) bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua metode yang saling menguatkan. “Hilal bukan sekadar persoalan teknis astronomi, tapi juga syiar agama. Integrasi hisab dan rukyat itu esensi ilmu falak. Di situlah agama dan sains bertemu,” tegasnya.

Menurutnya, Indonesia memiliki kekhususan, karena wilayahnya sangat luas dan dihuni berbagai ormas Islam yang kadang memiliki metode berbeda. "Di sinilah peran Kementerian Agama menjadi penengah agar perbedaan tak memecah belah umat. Perbedaan awal Ramadan atau Idulfitri itu wajar, tapi semangat kita adalah mempersempit perbedaan dan memperluas titik temu,” ujarnya.

Abu Rokhmad juga membahas posisi strategis Aceh sebagai wilayah paling barat Indonesia. Lokasi ini sering menjadi kunci rukyat hilal karena posisi bulan lebih tinggi dibanding wilayah lain. “Bisa saja hilal terlihat di Aceh, tapi tidak di Singapura atau Brunei karena faktor geografi. Pertanyaannya, bisakah hasil rukyat Aceh menjadi acuan bagi seluruh negara MABIMS? Ini yang sedang kita bahas agar ada kesepahaman,” jelasnya.

Lebih lanjut, Abu Rokhmad menekankan pentingnya literasi falak untuk generasi muda. Di Indonesia, ilmu falak diajarkan di pesantren, madrasah, hingga perguruan tinggi Islam, bahkan tersedia program sarjana, magister, hingga doktoral. “Falak bukan hanya soal puasa dan lebaran. Ia mengatur waktu salat, arah kiblat, hingga kalender ibadah sepanjang tahun. Ini ilmu yang tak boleh hilang,” tambahnya.

Guru Besar UIN Walisongo, Semarang itu juga mengapresiasi kesepakatan kriteria Imkanur Rukyah MABIMS (tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat). “Kriteria ini adalah jalan tengah. Dengan standar bersama, kita semakin dekat pada keseragaman penetapan Ramadan dan Syawal di Asia Tenggara,” katanya.

Sementara itu, Muhammad Zulhilmi Muhammad Jefri dari Kementerian Khas Ehwal Agama Brunei Darussalam menjelaskan, negaranya telah memiliki Jawatankuasa Teknikal Falak Syar’i yang disahkan Sultan Brunei sejak 2003. Komite ini melibatkan berbagai lembaga, mulai dari Jabatan Mufti hingga Persatuan Astronomi Brunei. “Kami tetap melaksanakan rukyat hilal sebagai syiar, tapi memanfaatkan data hisab modern untuk menentukan lokasi dan waktu rukyat paling ideal,” tuturnya.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |