Trump dan Ilusi Perombakan Tatanan Dunia

17 hours ago 12

loading...

Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.

Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember

SETIAP zaman memiliki pemimpinnya, dan setiap pemimpin menghadapi ujian zamannya. Donald Trump adalah produk dari kegelisahan rakyat Amerika yang merasa tatanan dunia yang mereka bangun telah kehilangan relevansinya. Dengan gaya kepemimpinan yang tidak konvensional, ia menantang norma-norma internasional yang telah lama terbentuk. Kebijakan luar negerinya yang agresif dan proteksionis mengguncang panggung geopolitik, memaksa dunia untuk menakar ulang posisi dan strategi mereka. Namun, pertanyaannya tetap relevan: apakah Trump benar-benar mengubah tatanan dunia, atau hanya mempercepat tren yang telah berlangsung lama?

John J. Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, melihat langkah Trump sebagai perwujudan dari 'realisme ofensif', suatu pendekatan yang menantang dominasi tatanan liberal. Sementara itu, Fareed Zakaria, seorang analis geopolitik ternama, mengingatkan bahwa kebijakan Trump yang unilateralis dapat melemahkan sistem multilateral yang telah menopang stabilitas global. Dengan kebijakan skeptis terhadap organisasi seperti NATO dan PBB serta kebijakan ekonomi proteksionis, Trump menciptakan ketidakpastian yang mengubah kalkulasi geopolitik. Meski begitu, sejarah membuktikan bahwa AS kerap mengutamakan kepentingannya sendiri di atas komitmen kolektif.

Sejak abad ke-19, Amerika Serikat telah menunjukkan kecenderungan untuk bertindak secara unilateral. Doktrin Monroe (1823) menjadi pijakan bagi AS untuk menolak intervensi Eropa di belahan bumi Barat. Kebijakan ini terus berulang dalam berbagai episode sejarah, mulai dari penolakan Kongres AS terhadap Liga Bangsa-Bangsa hingga keputusan George W. Bush menarik diri dari Perjanjian Anti-Balistik (ABM) pada 2002. Trump bukanlah pelopor dalam hal ini, melainkan hanya pewaris dari tradisi panjang yang mengutamakan kepentingan nasional di atas diplomasi kolektif.

Pendekatan transaksional Trump juga bukanlah fenomena baru. Richard Nixon, misalnya, menerapkan "Realpolitik" dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok demi menyeimbangkan kekuatan dalam Perang Dingin. Ronald Reagan pun tak ragu menggunakan diplomasi pragmatis dalam menghadapi Uni Soviet. Apa yang membedakan Trump adalah cara ia menyampaikan kebijakannya: tanpa basa-basi, blak-blakan, dan sering kali berlawanan dengan norma diplomasi yang sudah mapan. Dalam banyak hal, Trump lebih merupakan katalis daripada perombak tatanan global.

Di bidang ekonomi, proteksionisme yang diusung Trump dengan tarif tinggi terhadap Tiongkok dan negara lain mengingatkan pada kebijakan Smoot-Hawley Tariff Act (1930) yang justru memperburuk Depresi Besar. Presiden George W. Bush juga pernah menerapkan tarif tinggi pada baja sebelum mencabutnya akibat tekanan global. Sejarah membuktikan bahwa proteksionisme lebih sering berujung pada ketidakstabilan daripada kemakmuran. Meski demikian, kebijakan ini sejalan dengan tren global yang kini mulai bergeser dari liberalisme ekonomi menuju nasionalisme ekonomi.

Selain kebijakan ekonomi, slogan "Make America Great Again" (MAGA) merefleksikan semangat nasionalisme ekonomi yang menempatkan kepentingan domestik di atas segalanya. Hal ini berdampak pada perubahan cara dunia memandang AS: dari negara yang selama ini berperan sebagai pemimpin sistem internasional, menjadi aktor yang lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Akibatnya, sekutu-sekutu AS mulai mempertimbangkan kembali ketergantungan mereka pada Washington, memunculkan dinamika geopolitik baru di Eropa dan Asia.

Kritik terbesar terhadap Trump adalah sikapnya yang meremehkan aliansi seperti NATO serta keputusannya menarik AS dari berbagai perjanjian internasional. Namun, sejarah menunjukkan bahwa AS telah melakukan hal serupa di masa lalu. Presiden Jimmy Carter, misalnya, mengakhiri perjanjian pertahanan dengan Taiwan untuk membuka hubungan dengan Tiongkok. Obama pun menarik pasukan dari Irak, yang dianggap sebagai pelemahan komitmen AS terhadap stabilitas global. Dengan demikian, langkah Trump bukanlah revolusi, melainkan ekspresi yang lebih keras dari kecenderungan kebijakan luar negeri AS yang telah berlangsung lama.

Bagi Indonesia, dinamika global ini menuntut respons yang cermat dan strategis. Ketergantungan terhadap AS dalam aspek ekonomi dan keamanan harus diimbangi dengan diversifikasi mitra internasional. Penguatan hubungan dengan ASEAN, Uni Eropa, dan negara-negara Asia Timur menjadi langkah strategis untuk mengurangi dampak dari kebijakan luar negeri AS yang fluktuatif. Lebih dari itu, Indonesia harus memperkuat diplomasi ekonomi agar lebih tangguh menghadapi dampak proteksionisme global. Selain itu, peningkatan investasi dalam industri berbasis teknologi dan inovasi menjadi langkah penting agar Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi pemain kunci dalam perekonomian global.

Dalam menghadapi ketidakpastian dunia, fleksibilitas diplomasi menjadi kunci agar Indonesia tidak terjebak dalam dinamika kekuatan besar yang terus berubah. Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang mampu membaca arah angin perubahan akan tetap berdiri tegak, sementara mereka yang gagal beradaptasi akan terseret arus. Indonesia, sebagai bangsa yang kaya akan sejarah dan kebijaksanaan geopolitik, memiliki peluang untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam kancah global. Diplomasi berbasis kepentingan nasional yang seimbang antara realisme dan idealisme perlu dikembangkan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi objek dalam pergeseran geopolitik, tetapi juga subjek yang mampu menentukan masa depannya sendiri.

Pada akhirnya, perubahan tatanan dunia tidak ditentukan oleh satu pemimpin atau satu negara semata, melainkan oleh dinamika sejarah yang terus bergerak. Keberlanjutan sebuah bangsa tidak hanya bergantung pada bagaimana ia merespons perubahan, tetapi juga pada bagaimana ia membentuk masa depan dengan visi yang jelas dan langkah yang matang. Dunia terus berubah, dan dalam ketidakpastian ini, hanya mereka yang berani membaca dan merancang masa depan yang akan bertahan. Indonesia harus memilih: menjadi sekadar penonton dalam panggung dunia, atau menjadi aktor yang menentukan arah sejarahnya sendiri.

(zik)

Read Entire Article
Masyarakat | | | |