Trump 2.0: Sikap Kita?

9 hours ago 1

loading...

Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilu Presiden Amerika Serikat dan dilantik pada Januari tahun 2025 menghadirkan babak baru kerja sama ekonomi dan politik antarnegara serta ekonomi global. Keberhasilannya mengalahkan Kamala Harris mengukuhkan kembalinya tokoh Partai Republik yang dikenal penuh kontroversi ke kursi kepemimpinan tertinggi di Gedung Putih.

Artinya, Trump tercatat sebagai presiden pertama sejak Grover Cleveland yang menjabat dua kali dalam periode yang tidak berurutan. Masa kepemimpinannya kali ini pun dibuka dengan serangkaian kebijakan yang sarat ketegasan dan keberanian, meskipun tak lepas dari sorotan dan perdebatan di berbagai penjuru dunia.

Salah satu gebrakan awal Trump adalah pengakuan sepihak terhadap beberapa wilayah sebagai bagian dari kedaulatan Amerika Serikat. Kebijakan ini pun langsung memicu ketegangan diplomatik, terutama dengan negara-negara yang mengklaim wilayah yang sama. Banyak pihak internasional mengkritik langkah tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan prinsip kedaulatan negara. Meski demikian, Trump berdalih bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari strategi penguatan posisi geopolitik dan simbol patriotisme nasional.

Di bidang perdagangan, Presiden Donald Trump kembali mengusung semangat proteksionisme yang tegas sebagai pijakan utama kebijakan ekonominya pada masa jabatan keduanya. Presiden Amerika Serikat tersebut memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan signifikan dengan Amerika Serikat, dengan alasan untuk melindungi industri domestik dan menyeimbangkan neraca perdagangan.

Artinya, langkah Presiden Trump tersebut bertujuan untuk melindungi industri dalam negerinya serta menekan defisit neraca perdagangan yang selama ini dianggap merugikan ekonomi Amerika Serikat. Paling mencolok, tarif impor terhadap produk-produk tertentu asal Tiongkok bahkan melonjak drastis hingga mencapai 145%, mencerminkan eskalasi ketegangan dagang yang berpotensi memicu respons balasan serta menimbulkan ketidakpastian dalam sistem perdagangan global.

Dalam teori dasar perdagangan internasional, perdagangan yang dilakukan antar 2 negara akan meningkatkan kesejahteraan warga dua negara tersebut. Salah satunya adalah peningkatan pilihan-pilihan konsumsi, produk yang tidak mampu diproduksi sendiri dipenuhi oleh negara lain. Sehingga jika volume perdagangan meningkat, maka kesejahteraan meningkat.

Pemerintah Indonesia harus menghadapi tantangan baru ketika sejumlah produk ekspor pun terkena kenaikan tarif hingga 32%. Maka sejalan dengan pemikiran dasar teori tersebut, para eksportir nasional dan otoritas perdagangan perlu merumuskan strategi baru dan mencari patner perdagangan baru agar ekonomi dalam negeri tidak terdampak secara masif.

Zero Tarif dalam Konsep Ekonomi

Pada teori perdagangan internasional klasik maupun modern, konsep zero tarif atau tarif nol merupakan bagian dari pendekatan perdagangan bebas (free trade). Dalam kerangka ini, negara-negara disarankan untuk menghapus hambatan perdagangan seperti bea masuk demi menciptakan efisiensi ekonomi, spesialisasi produksi, dan keunggulan komparatif. Teori Ricardo dan Heckscher – Ohlin menekankan bahwa dengan penghapusan tarif, negara akan memperoleh manfaat berupa peningkatan kesejahteraan secara agregat karena sumber daya dapat dialokasikan secara optimal berdasarkan efisiensi relatif.

Kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump, baik dalam masa jabatan pertamanya maupun dalam rencana masa jabatan keduanya, merupakan penolakan eksplisit terhadap prinsip zero tarif. Trump berargumen bahwa sistem perdagangan bebas yang tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap industri domestik justru merugikan Amerika Serikat, terutama karena adanya surplus perdagangan negara mitra seperti Tiongkok dan Meksiko.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |