JAKARTA - Kalo polisi boleh ngurus bola, mestinya pelatih bola boleh juga jadi pengurus polisi – begitu kata Bintang Emon di salah satu panggung Somasi, yang digagas Dedi Corbuzier. Mengapa? Bintang juga jelaskan ringan, karena sama punya kemampuan “nendang”. Satu nendang bola, satu nendang penjahat. Dan, yang juga dikritik adalah Bintang mengkritik bahwa kalo mengkritik itu mesti memberi saran.
Begitulah kini. Panggung plesetan logika dalam komedi menjadi kian marak sebagai alternatif menyampaikan kritik, yang bisa disasarkan kepada berbagai pihak. Sajian model komedi, mestinya tak membuat sasaran tembak kritik itu marah – tapi bisa senyum simpul karena mengaku.. “ada benernya, tuh..”
Secara teoritis, tak semua orang berani dan bisa untuk stand-up di depan publik. Bukti yang paling gampang: sampai sekarang masih ada saja yang buka kursus public speaking. Supaya orang bisa terampil bicara ke publik, tentang apa saja dengan cara yang tepat, sesuai dengan keperluan. Kalau ditelusuri sejarahnya, stand-up di hadapan publik itu adalah demi membela suatu kepentingan. Pembicara itu melakukan retorika demi membela kepemilikan tanahnya di hadapan penguasa.
Sampai pada tahapan kemudiannya, cara bicara di publik itu pernah jadi sarana penyebaran agama – bahkan mungkin sampai kini masih. Lalu juga digunakan untuk kepentingan komersial, dalam komunikasi persuasi untuk meyakinkan para calon konsumen agar membeli barang ataupun jasa.
Begitulah, jadi alat propaganda perang, penyebaran agama, atau perdagangan yang terus dikembangkan retorika/public speaking/persuasion sampai ke masa kini di atas panggung-panggung kecil tapi disiarkan via internet ke dunia luas. Sebenarnya masih tak banyak yang memiliki kemampuan mumpuni untuk tegak berdiri (stand-up) di hadapan publik demi mengisahkan berbagai keresahan yang dirasa menyesakkan dada – apalagi dalam format komedi.
Pilihan Indonesia merdeka dan berbentuk Republik yang demokratis, memang mesti memberikan akses kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk berpartisipasi mengurus negara ini. Pilihan menyiarkan kritik lewat stand up komedi perlu diberikan apresiasi sebagai bentuk memberi arah negara biar gak belok kiri – belok kanan, akhirnya bikin merencanakan dari tujuan negara.
Kalau Mba Puan, dalam pidato tahunan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/08/2025), sudah sempat menyebut “kabur aja dulu”, “Indonesia gelap”, “negara konoha”, “bendera one piece”, sebagai bentuk ekspresi keresahan warga masyarakat, maka bertebarannya panggung-panggung di mana para komedian juga stand up menyalurkan keresahan lainnya juga layak dipersepsi serupa.
Komunikasi publik memang sangat beragam, untuk berbagai kepentingan. Fenomena protes lewat Demo seperti terakhir terjadi di tingkat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, adalah yang kelak akan sering terjadi pula di tengah maraknya berbagai pemerintahan daerah menaikkan pajak , seperti PBB, demi mengumpulkan uang dari rakyat. Tunggu tanggal mainnya, baik di Jatim, ataupun Jabar.
Para aktor pelaku komunikasi, yang jadi komunikator publik, bukannya hanya dituntut terampil mengartikulasikan pesan, memilih media massa atau media sosial secara tepat, tapi juga mesti berorientasi kepada komunikan. Di tengah kesulitan ekonomi rakyat, para pemegang kekuasaan tak cukup “bersimPATI”, tapi harus mampu “emPATI”. Menarik pajak dengan tingkat kenaikan tinggi adalah pertunjukan betapa TIDAK EMPATI-nya para pejabat publik.
Bila ini yang terus terjadi, tunggu saja tanggal mainnya: STAND UP yang dilakukan di mana-mana, dan sangat mungkin tak disajikan secara komedi.Kita semua mesti siap terima kritik, sebagai bentuk pelaksanaan hak asasi menyampaikan pendapat warga negara demokratis. Juga satu lagi pesan: jangan asal bicara ke hadapan publik, yang pemilik sejati kedaulatan rakyat.
Penulis: Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)