Kebijakan Populis Vs Kebijakan Rasional

3 hours ago 1

loading...

Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

Beberapa hari belakangan ini dunia pendidikan menjadi perhatian dan sorotan publik. Perhatian dan sorotan tersebut bukan berasal dari isu-isu yang berasal dari kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah, tetapi muncul dari pernyataan figur publik dan pejabat pembuat kebijakan di tingkat daerah. Pernyataan yang muncul dari mereka otomatis menjadi sebuah kebijakan walau disampaikan melalui sosial media atau dalam bentuk konten dengan menggunakan platform yang beragam.

Pernyataan pejabat publik tersebut mau tidak mau harus segera ditindaklanjuti oleh jajaran pejabat publik tersebut di wilayahnya. Artinya, pernyataan tersebut tidak bisa diasumsikan hanya sebagai sebuah lontaran sesaat, tetapi telah menjadi sebuah bukti legalitas kebijakan. Dalam disiplin kebijakan publik, pernyataan tersebut harus segera diterjemahkan ke dalam dokumen tertulis dan bukan hanya sekadar ucapan atau lisan belaka.

Kebijakan Populis?
Yang menarik, pernyataan-pernyataan tersebut faktanya belum diatur dalam bentuk kebijakan resmi yang tertulis. Dokumen tertulis bagaimanapun menjadi basis dari pola tindak jajaran yang berada dibawah pimpinan tersebut. Akibat pernyataan-pernyataan tersebut muncul pendapat pro-kontra dari berbagai pemangku kepentingan termasuk akademisi, praktisi dan bahkan target kebijakan yaitu orang tua, dan unsur-unsur yang berada dalam lingkup persekolahan atau satuan pendidikan.

Publik seyogianya berhak untuk mendapatkan penjelasan dan klarifikasi tentang kemengapaan sebuah kebijakan atau program diberlakukan. Harus ada kejelasan akar permasalahan (root of the causes) sehingga muncul pernyataan publik bahwa perlu dilakukan pelarangan terhadap kebiasaan yang dilakukan satuan pendidikan selama ini, atau mencari pola baru untuk mendidik karakter murid. Jangan sampai yang dinyatakan oleh pejabat publik hanya merupakan gejala-gejala (symptom) dari permasalahan.

Penjelasan atau klarifikasi tersebut seyogianya didasarkan atas hasil evaluasi yang dapat membuktikan adanya kekuatan dan kelemahan ataupun ada tidaknya dampak kebijakan atau program tertentu. Yang tidak kalah pentingnya adalah publik atau masyarakat seharusnya diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. Ini untuk memastikan bahwa kebijakan merupakan sebuah kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan yaitu antara pembuat kebijakan dan target sasaran kebijakan.

Kalaupun pada akhirnya terjadi (perubahan) kebijakan baik secara parsial maupun totalitas, itu akan dapat diterima secara normatif dan praktis oleh sasaran atau target kebijakan sehingga tidak timbul kegaduhan. Mekanisme seperti ini akan menghindarkan persepsi bahwa (perubahan) kebijakan semata-mata karena keinginan pemimpin yang baru untuk membuat warisan (legacy) pada zaman kepemimpinannya.

Ini sekaligus akan mengindikasikan bahwa kebijakan itu tidak mendadak lahir tanpa alasan yang rasional sehingga bisa saja ada anggapan masyarakat bahwa kebijakan tersebut sebagai kebijakan populis belaka. Apabila diasumsikan sebagai kebijakan populis, pertanyaan berikutnya adalah siapa yang mendapat manfaat dari kebijakan itu? Apakah si pembuat kebijakan atau juga target kebijakan merasakan bahwa kebijakan itu memiliki nilai keberpihakan bagi mereka.

Dikatakan kebijakan populis karena mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui rencana tersebut. Artinya, rencana perubahan atau keputusan kebijakan tersebut tidak memiliki prinsip keterbukaan yang boleh menjadi konsumsi publik. Padahal keterbukaan akan menjadi sebuah pola komunikasi yang nantinya dapat menenangkan publik. Juga untuk mengantisipasi agar publik atau masyarakat tidak terkejut dengan kemungkinan lahirnya sebuah kebijakan baru. Bagaimanapun penetapan kebijakan harus memperhatikan situasi dan kondisi yang realistis dari sasaran dan lokus kebijakan tersebut.

Kebijakan Rasional
Pada prinsipnya, terdapat dua karakteristik kebijakan publik (Nugroho (2015). Pertama, kebijakan publik seharusnya mudah dipahami secara sederhana oleh berbagai lapisan masyarakat dan tujuan nasional. Artinya bahwa kebijakan yang dibuat tersebut harus mempertimbangkan apakah pada tingkat nasional sudah terdapat kebijakan terkait. Bagaimanapun kebijakan di daerah tidak serta merta lepas dari payung hukum berupa peraturan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |