JURNALISME VS RTBF (Hak untuk Dilupakan)

4 weeks ago 13

JAKARTA - Kegiatan jurnalisme, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 40/1999, adalah bentuk implementasi untuk kebebasan menyatakan pendapat. Kini upaya itu menjadi tergantung ketika media massa berbasis Internet mencatat semua peristiwa yang pernah diberitakan dalam bentuk arsip. 

Arsip ini bisa diakses siapa saja, di mana pun, pada waktu yang lama, sepanjang informasi itu masih tersedia. Padahal manusia berubah, misal tadinya penjahat, dalam kurun waktu tertentu menjadi baik, dan bahkan ia pernah menerima ganjaran hukum atas kejahatan di masa lalunya.

Dakwaan pernah berbuat tindak pidana, hanya berlaku ketika dilakukan melalui persidangan di pengadilan. Dan, hukuman yang berkekuatan hukum itu juga hanya lahir dari persidangan tersebut. Nah, semua peristiwa – mulai dari tindakan melawan hukum sampai dengan upaya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum itu sudah terekam dan disiarkan luaskan dalam bentuk berita kepada publik. 

Sebuah berita karya jurnalisme sudah selayaknya objektif dan dipromosikan demi kepentingan publik, termasuk berita kriminalitas. Jurnalis tak boleh memiliki prasangka negatif, dan bagi publik informasi itu menjadi semacam pengingat agar waspada daripada jadi korban berikutnya.

Di lain pihak, berkembang hak untuk dilupakan (right to be forgotten) yang dimiliki seseorang/kelompok sehubungan dengan perubahan pribadi ataupun paksaan sosial yang membuatnya jadi patuh hukum. Dalam karakter media massa baru digital berbasis Internet yang menggunakan ICT, pencatatan peristiwa yang sudah terarsipkan itu seolah tak bisa hilang – yang berdampak pada degradasi reputasi seseorang / kelompok.

Mari kita sebut saja seseorang – yang kemudian memperoleh julukan ROY PANCI. Persangkaan terhadap Roy Suryo yang menggelapkan panci ketika dipaksa ke luar dari rumah dinas, masih kerap digunakan dalam jagat dunia siber. Seolah tak lekang oleh waktu, reputasinya terdegradasi karena arsip informasi pemberitaan semacam itu.

Pertanyaannya adalah: apakah salah jurnalis yang telah mencatat peristiwa itu sebagai berita, dan kemudian berita itu diarsipkan secara mekanis oleh ICT? Aksesibilitas informasi semacam itu hanya mungkin dilakukan melalui penggunaan ICT di media baru digital. Ketika Mc Luhan mengemukakan tentang “medium is the message” yang secara deterministik konten itu adalah media sekaligus – dari sudut pandang teknologi pemroduksiannya, memang belum terbayang bagaimana cara menghapus luka lama.

Namun demikian, karakter media baru yang mencatat dan mengarsipkan semua informasi, bisa berdampak pada reputasi obyek berita, bahkan lingkungan sosial sang obyek berita. Di dalam hal ini ada beberapa cara berbeda yang dilakukan: di Indonesia, berdasarkan ketentuan UU (lihat UU No. 11tahun 2008 dan UU No. 27 th 2022) bisa minta dihapuskan informasi itu melalui pengadilan sebagaimana diatur PP No. 71 th 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan transaksi Elektronik; di negara lain diatur dengan cara yang berbeda.

Penggunaan hak ini juga sudah diatur oleh berbagai perundang-undangan. Teknologi pemrosesan dan pengolahan informasi, kiranya ikut bahkan sangat berpengaruh sehingga informasi yang unfavourable bagi individu/kelompok bisa diakses selalu sepanjang masih tersedia di dalam jaringan internet.

Yuk.. jaga perilaku diri pribadi sehingga tidak mengundang jurnalis ataupun warganet yang kini jadi jurnalis warga untuk membuat narasi tentang peritiwa yang melibatkan diri pribadi. Apalagi jika dengan sengaja membuat narasi sehingga bisa diaksesnya informasi itu oleh warganet dengan media sendiri (secara paid, earned, shared atau owned). Tambahan peringatan: jangan lakukan tindakan yang bisa dikategorikan melawan hukum dan etika.

Penulis: Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)

Read Entire Article
Masyarakat | | | |