OPINI - Operasional raksasa semen asal Tiongkok, PT Conch (Anhui Conch Cement), semakin menjadi sorotan tajam di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Barru.
Temuan konkret menunjukkan bukan hanya potensi kerusakan lingkungan yang mengerikan di kawasan karst, tetapi juga adanya pelanggaran hukum serius terkait perizinan yang berujung pada pembatalan legal oleh pengadilan.
Data yang terkuak mengindikasikan bahwa investasi besar ini lebih membawa ancaman terhadap stabilitas ekologi dan ekonomi lokal ketimbang manfaat yang dijanjikan.
Putusan Pengadilan yang "Diabaikan": Izin Lingkungan Barru Batal Permanen
Puncak krisis PT Conch di Barru terjadi saat Izin Lingkungan yang diterbitkan oleh Bupati Barru pada tahun 2016 (Nomor: 306/KLH/VII/2016) dibatalkan oleh pengadilan.
Keputusan pembatalan ini yang dinilai melanggar asas pemerintahan yang baik telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah upaya Peninjauan Kembali (PK) perusahaan ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Fakta Hukum
Penolakan PK MA memastikan bahwa izin lingkungan awal PT Conch di Barru adalah ilegal dan tidak sah secara hukum. Situasi ini mencerminkan dugaan ketidakpatuhan atau upaya mencari celah hukum oleh perusahaan setelah izin dasarnya dicabut.
Alih-alih menghentikan rencana operasi, PT Conch dilaporkan berusaha mengurus perizinan baru, bahkan dengan mengalihkannya ke tingkat Pemerintah Provinsi Sulsel, terutama untuk pembangunan fasilitas di daerah pesisir seperti Pelabuhan Garongkong.
Upaya ini memicu pertanyaan tentang transparansi dan kepatuhan perusahaan terhadap supremasi hukum di Indonesia.
Karst Barru di Ujung Tanduk: Ancaman Kekeringan Massal
Kritik paling mendasar dan serius dari warga Barru adalah ancaman tak terelakkan terhadap kawasan karst Barru. Penambangan di wilayah karst secara langsung mengancam ketersediaan sumber air yang vital bagi:
- Ribuan Hektar Sawah: Mengakibatkan potensi kekeringan masal dan kegagalan panen.
- Permukiman Warga: Mengganggu pasokan air minum dan kebutuhan sehari-hari.
Kekhawatiran masyarakat tidak hanya pada kekeringan, tetapi juga potensi polusi debu dan kebisingan tinggi yang akan merusak kualitas hidup di sekitar lokasi pabrik.
Kanibalisme Industri dan Minimnya Kontribusi Lokal
Di luar isu lingkungan, kehadiran PT Conch dikritik keras karena memicu ancaman terhadap stabilitas ekonomi regional.
Industri semen lokal yang sudah eksis, seperti PT Semen Tonasa dan PT Bosowa, menyuarakan kekhawatiran serius akan terjadinya persaingan tidak sehat atau predatory pricing (penetapan harga yang merusak pasar) dari pemain asing ini.
Dampak terburuknya adalah potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di perusahaan semen domestik, yang tentu akan memukul stabilitas ekonomi Sulsel secara keseluruhan.
Organisasi pers lokal, Jurnalis Nasional Indonesia (JNI) Sulsel, juga menuntut data transparan dan riil mengenai penyerapan tenaga kerja lokal di Barru.
Kecurigaan besar adalah bahwa investasi ini hanya akan meninggalkan polusi lingkungan tanpa memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan pengangguran di Kabupaten Barru.
Tuntutan Audit Menyeluruh
Temuan di Barru, bersama dengan pola ketidaksesuaian laporan di Bolaang Mongondow, menggarisbawahi urgensi bagi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera melakukan audit lingkungan dan hukum yang transparan dan menyeluruh terhadap seluruh operasi PT Conch.
Masyarakat menuntut jaminan bahwa investasi asing tidak akan merusak lingkungan hidup dan stabilitas sosial-ekonomi masyarakat lokal di Barru.

















































