Bukan Menindas, Tapi Melindungi: Kehadiran TNI di Papua sebagai Wajah Sah Konstitusi dan Kemanusiaan

1 month ago 12

PAPUA - Di tengah narasi yang kerap dipelintir dan diprovokasi oleh kelompok separatis bersenjata, kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Bumi Cenderawasih kembali menjadi sorotan. Namun, di balik tudingan yang menyebut kehadiran militer sebagai “penindasan”, berdiri fakta konstitusional yang tidak dapat dibantah: TNI hadir di Papua sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, keamanan rakyat, dan memastikan roda pembangunan berputar di tanah yang selama ini kerap didera konflik dan keterisolasian.

Pernyataan provokatif yang baru-baru ini dilontarkan oleh kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali menantang legitimasi negara. Mereka menolak pendirian pos militer TNI di wilayah Puncak Jaya dan sembilan wilayah lainnya, dengan mengklaim sebagai “zona perang”, bahkan mengancam akan melancarkan serangan terhadap aparat serta mengusir masyarakat non-Papua.

Namun sesungguhnya, klaim sepihak tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan internasional. Kehadiran TNI di Papua bukanlah agenda politis, apalagi militeristik represif, tetapi merupakan bentuk kewajiban konstitusional negara yang diamanatkan oleh undang-undang.

Kehadiran TNI: Legal, Konstitusional, dan Terarah

Setiap penempatan pasukan maupun pembangunan pos militer di Papua dilandaskan pada kerangka hukum nasional:

* Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

* UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), TNI bertugas mengamankan wilayah perbatasan dan mengatasi gerakan separatis bersenjata.

* Pasal 9 dari UU yang sama, memberikan wewenang kepada TNI untuk membangun sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugasnya.

* Perpres No. 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, memperkuat fungsi Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai aktor strategis dalam penanganan konflik dan potensi ancaman.

Dengan demikian, pembangunan pos militer di wilayah strategis seperti Puncak Jaya bukan bentuk provokasi, melainkan bagian dari upaya menjaga stabilitas keamanan nasional dan melindungi rakyat dari kekerasan kelompok bersenjata.

TNI dan Pendekatan Humanis di Papua

Berada di Papua tidak menjadikan TNI bertindak bak penjaga benteng semata. Melalui pendekatan teritorial dan kemanusiaan, TNI justru menjadi pelayan masyarakat di pelosok: membuka layanan kesehatan, membantu pendidikan, memperbaiki infrastruktur, dan menyatu dengan kearifan lokal. Pendekatan ini sejalan dengan:

* Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

* Program Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menekankan kolaborasi dengan pemerintah daerah dalam pelayanan dasar.

* Peningkatan komunikasi sosial dengan warga, tokoh adat, tokoh agama, dan generasi muda Papua.

TNI menjadi wajah negara yang hadir secara nyata bukan untuk mendominasi, tetapi untuk merawat dan membangun kepercayaan.

TPNPB-OPM dan Pelanggaran Prinsip Kemanusiaan

Berbeda dengan kehadiran TNI yang dilandasi legalitas dan akuntabilitas, aksi-aksi TPNPB-OPM justru menampilkan pola kekerasan terhadap sipil yang melanggar hukum humaniter internasional. Serangan mereka terhadap guru, tenaga medis, pekerja proyek infrastruktur, dan warga non-Papua, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, sebagaimana diatur dalam:

* UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terutama Pasal 6 dan Pasal 9, yang menegaskan bahwa penggunaan kekerasan bersenjata yang menciptakan teror terhadap masyarakat sipil adalah tindakan terorisme.

Lebih jauh, serangan yang tidak membedakan antara kombatan dan sipil, tanpa proporsionalitas dan peringatan, juga melanggar prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional:

* Distinction (pembeda antara target militer dan sipil),

* Proportionality (mencegah kerugian berlebih terhadap sipil),

* Precaution (tindakan pencegahan terhadap dampak serangan).

Kesimpulan: Papua adalah Bagian Sah dari NKRI, dan TNI Hadir untuk Melindungi, Bukan Menindas

TNI bukanlah entitas asing di Papua. Kehadiran mereka adalah kehadiran negara yang sah, konstitusional, dan menyeluruh. TNI datang bukan untuk menguasai, tetapi untuk melindungi seluruh warga negara termasuk masyarakat asli Papua dari ancaman kekerasan dan isolasi pembangunan.

Setiap langkah yang diambil TNI di tanah Papua tunduk pada prinsip:

* Legalitas, karena dijalankan sesuai konstitusi dan hukum,

* Akuntabilitas, melalui pengawasan internal maupun eksternal,

* Profesionalitas, dengan pendekatan humanis, proporsional, dan terukur.

“Papua adalah bagian dari Indonesia, dan negara wajib hadir di sana dengan wajah perlindungan, bukan penindasan. TNI adalah pelaksana dari amanat itu, ” demikian salah satu perwira tinggi TNI menegaskan.

Upaya TPNPB-OPM untuk menanamkan ketakutan dan membungkus kekerasan dengan dalih ideologi harus ditolak oleh seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat Papua sendiri. Karena kedamaian bukan dibangun di atas senjata, tetapi melalui kehadiran negara yang adil, dekat, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Penulis: Media Habema

Editor: Dansatgas Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono

Read Entire Article
Masyarakat | | | |