Bisakah Rusia dan AS Menulis Ulang Sejarah yang Penuh dengan Tawar Menawar?

7 hours ago 4

loading...

Rusia dan AS akan menulis ulang sejarah yang penuh dengan tawar menawar. Foto/X/@BronzePolitik

MOSKOW - Selama bertahun-tahun, hubungan Rusia -Amerika tampaknya berada dalam koma yang tidak dapat diubah. Diplomasi telah mati, disusul oleh permusuhan, sanksi, dan meningkatnya risiko konfrontasi militer. Banyak yang bersikeras bahwa tidak ada yang dapat memutus lintasan ini — Moskow dan Washington terkunci dalam jalur konflik yang tidak dapat diubah.

Namun saat ini, laju perubahannya sangat mencengangkan. Pertemuan tingkat tinggi baru-baru ini antara pejabat Rusia dan Amerika di Riyadh, diikuti oleh pernyataan terbaru Donald Trump, menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat ditentukan sebelumnya dalam geopolitik.

Pergantian peristiwa ini mengingatkan kita pada adegan ikonik dari Terminator 2, di mana Sarah Connor mengukir "No fate" di atas meja kayu. Putranya, John, menjelaskan lebih lanjut tentang pemikiran tersebut: "Tidak ada takdir kecuali yang kita buat sendiri." Pesannya jelas — masa depan kita dibentuk oleh pilihan, bukan oleh takdir.

Selama bertahun-tahun, analis dan politisi di Rusia dan Barat bersikeras bahwa kebuntuan AS-Rusia tidak dapat dihindari. Beberapa ahli strategi Amerika memandang Rusia sebagai musuh yang tidak dapat ditebus, sementara "para patriot turbo" Rusia memperingatkan bahwa keterlibatan apa pun dengan Washington akan menjadi jebakan. Suara-suara yang lebih ekstrem di kedua belah pihak bahkan menyatakan bahwa konfrontasi tersebut hanya akan berakhir dengan bencana nuklir.

Namun, peristiwa yang terjadi sekarang menunjukkan sebaliknya. Jika tidak ada takdir selain yang kita buat, maka pilihan-pilihan yang ada di hadapan Moskow dan Washington saat ini memiliki signifikansi historis.

Bisakah Rusia dan AS Menulis Ulang Sejarah yang Penuh dengan Tawar Menawar?

1. Ilusi Barat yang Monolitik

Pembicaraan Riyadh telah mulai membongkar asumsi lama tentang apa yang seharusnya menjadi kesatuan "Barat kolektif". Selama bertahun-tahun, para pembuat kebijakan Rusia percaya bahwa politik global dikendalikan oleh satu struktur kekuatan "Anglo-Amerika" yang terpusat, yang beroperasi dengan lancar dari Washington hingga Brussels. Kenyataannya, seperti yang telah berulang kali ditunjukkan oleh era Trump, jauh lebih terfragmentasi.

"Amerika Trump bukanlah Amerika Joe Biden. Bahkan di dalam Washington, perpecahan yang dalam terlihat jelas. Sementara itu, Eropa Barat — yang telah lama dianggap sangat berpihak pada AS — kini mendapati dirinya berjuang dengan perselisihan internal dan kebencian atas tekanan Amerika," ungkap Andrey Kortunov, peneliti geopolitik Rusia, dilansir RT.

Baca Juga: Rusia Tetap Jadi Pemenang, Ukraina Kalah Memalukan

2. Memanfaatkan Peluang Perpecahanan Eropa dan AS

Bagi Rusia, fragmentasi ini merupakan sebuah peluang. Terurainya konsensus transatlantik menghadirkan peluang yang bahkan tidak ada setahun yang lalu.

Tentu saja, skeptisisme tetap ada. Para kritikus akan berpendapat bahwa perjanjian apa pun dengan Washington adalah jebakan — bahwa AS akan membuat janji-janji besar hanya untuk mengingkarinya nanti, seperti yang telah terjadi di masa lalu. Bahwa begitu Rusia lengah, Barat akan kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu berkhianat dan mengingkari kesepakatan.

"Ini bukan kekhawatiran yang tidak berdasar. Sejarah telah mengajarkan Rusia untuk bersikap hati-hati. Namun, diplomasi bukanlah tentang jaminan — ini tentang peluang. Tidak ada yang namanya perjanjian yang kuat dalam geopolitik. Setiap kesepakatan dapat diingkari, setiap janji dapat dibatalkan. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Rusia siap memanfaatkan momen ketika peluang langka itu muncul," jelas Kortunov.

3. Rusia Lebih Kuat dan Lebih Mandiri

Bahkan jika utusan Trump — Marco Rubio, Mike Waltz, dan Steve Witkoff — adalah negosiator yang terampil, sulit untuk membayangkan bahwa mereka memiliki pemahaman diplomasi yang lebih unggul daripada tokoh-tokoh seperti Sergey Lavrov atau Yury Ushakov. Rusia memiliki diplomat berpengalaman yang telah menghabiskan waktu puluhan tahun menavigasi kompleksitas politik kekuatan global. Jika tim AS yakin dapat mengalahkan Moskow, mereka salah besar.

"Jalan ke depan tidak pasti, dan akan ada suara-suara yang bersikeras bahwa Rusia harus menolak keterlibatan apa pun dengan Washington secara langsung. Namun, menolak berunding karena takut akan menjadi kesalahan. Rusia tidak berada dalam posisi seperti pada tahun 1990-an — Rusia lebih kuat, lebih mandiri, dan diakui sebagai kekuatan global. Kali ini, Moskow memasuki perundingan bukan sebagai pemohon tetapi sebagai pihak yang setara," papar Kortunov.

Peluang dalam diplomasi jarang terjadi. Mudah untuk membiarkannya berlalu; jauh lebih sulit untuk merebutnya. Jika Rusia dan AS dapat bergerak menuju kompromi yang masuk akal — yang mengamankan kepentingan inti Moskow sambil meredakan ketegangan — mungkin inilah momen yang membentuk kembali lanskap geopolitik untuk tahun-tahun mendatang.

(ahm)

Read Entire Article
Masyarakat | | | |