Bela Negara di Ruang Digital

3 hours ago 1

loading...

Letjen TNI Mohamad Hasan, Komandan Kodiklat TNI AD. Foto/istimewa

Letjen TNI Mohamad Hasan
Komandan Kodiklat TNI AD

RUANG digital hari ini bukan lagi sekadar “media sosial”, ia telah menjadi ruang hidup tempat kita bekerja, berbelanja, belajar, membentuk opini, bahkan menentukan sikap politik. Lebih dari 80% penduduk Indonesia kini terhubung ke internet, survei APJII 2025 mencatat penetrasi mencapai 80,66% atau sekitar 229 juta jiwa.

Dalam ekosistem yang luas dan cair ini, generasi Millenial dan Gen Z tulang punggung bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045 tumbuh sebagai digital natives yang menghirup dan mengembuskan informasi saban detik. Ruang digital yang luas dan dinamis ini sudah selayaknya dimasuki unsur bela negara untuk menjawab keresahan publik yang khawatir nasionalisme dan kecintaan pada negara tergerus disinformasi, hoaks, ujaran kebencian, dan pengaruh asing yang bebas keluar masuk di ruang digital.

Keresahan yang Nyata

Dinamika terkini yang terjadi di ruang digital Indonesia sudah sangat berwarna dan mewarnai kehidupan anak-anak bangsa. Berbagai unggahan peristiwa dan cerita yang tersajikan di ruang digital adalah gambaran umum bagaimana publik berekspresi dengan bebas.

Kebebasan ini menghasilkan nilai-nilai berbeda satu sama lain, kemudian menciptakan berbagai pendapat, komentar, dan reaksi yang beragam sesuai dengan opini yang muncul di benak orang yang membaca atau menonton unggahan tersebut. Kondisi ini juga menciptakan keresahan akan dampak yang tercipta dari berwarnanya nilai yang dihasilkan. Ada tiga sumber keresahan publik yang makin terasa.

Pertama, kebenaran yang “ditawar” algoritma. Platform dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton dan interaksi. Akibatnya, konten yang memicu emosi, marah, cemas, takjub, sering terdorong naik, sementara konten yang akurat namun “kurang sensasional” tenggelam. Di Indonesia, 57% warga mengaku memperoleh berita dari media sosial, bukan dari situs media arus utama. Ini membuat proses pembentukan opini amat dipengaruhi kurasi mesin dan influencer ketimbang jurnalisme.

Kedua, ekonomi validasi. Budaya likes, share, comment menciptakan kebutuhan konstan akan pengakuan. Validasi sosial itu sah, tetapi ketika menjadi ukuran tunggal harga diri, ia mudah digiring untuk kepentingan komersial maupun politik. Maka, yang “benar” sering kalah oleh yang “ramai”.

Ketiga, arus mis/disinformasi yang makin canggih. Pemerintah sendiri beberapa kali menekan platform besar untuk memperkuat moderasi, setelah muncul kasus disinformasi (termasuk deepfake) yang memicu keresahan publik. Di saat bersamaan, regulasi ekosistem berita digital juga terus bergeser dari wacana kewajiban berbagi nilai ekonomi berita hingga standar usia minimum pengguna media sosial untuk melindungi anak.

Semua ini terjadi di tengah struktur demografi yang muda: Gen Z saja berjumlah sekitar 71,5 juta jiwa (±27% populasi), mengalahkan jumlah Milenial. Ketika ruang hidup mereka dominan digital, maka bela negara pun harus menemukan bentuknya yang digital. Era digital telah mengubah fundamental cara hidup berbangsa dan bernegara.

Generasi Milenial (66,82 juta pemilih) dan Gen Z (46,8 juta pemilih, 75 juta populasi total) di Indonesia menghadapi tantangan unik sebagai digital natives yang harus menerapkan nilai-nilai kebangsaan di ruang digital. Dengan penetrasi internet nasional mencapai 80,66% dan durasi online rata-rata 8+ jam per hari, generasi ini memerlukan panduan komprehensif untuk mengimplementasikan bela negara di era digital.

Berdasarkan data dari Newzoo, pada 2024 pengguna ponsel pintar di seluruh dunia mencapai 7,21 miliar dan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dengan 187,7 juta pengguna ponsel pintar dari sekitar 275,5 juta penduduk Indonesia atau lebih kurang 68,1%. BPS mencatat pada tahun 2024 bahwa pengguna telepon seluler (HP) di Indonesia mencapai sekitar 82,05% dari penduduk usia 5 tahun ke atas dalam 3 bulan terakhir.

Di sisi lain, penggunaan internet tercatat 72,78% pada populasi yang sama. Sementara itu, data dari awal tahun 2025 menunjukkan jumlah pengguna media sosial Indonesia sebanyak 143 juta identitas pengguna aktif, yang setara dengan sekitar 50,2% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 285 juta jiwa di awal tahun 2025.

Dari statistik ini, kita bisa melihat gambaran bahwa hampir seluruh manusia remaja hingga dewasa di Indonesia memiliki ponsel pintar dan memiliki akses terhadap banyak sekali informasi yang beredar dalam genggamannya. Kita bisa membayangkan derasnya arus informasi yang mengalir dan masuk ke dalam alam pikiran kita setiap detiknya. Di sisi lain, UNESCO pada September tahun 2025 mengeluarkan data statistik tentang literasi orang dewasa (15+) di tingkat global. Rilis tahun 2025 menggunakan data paling mutakhir tahun 2024.

Tingkat melek huruf orang dewasa dunia: 88% (tahun data 2024). Gen Z (15-24): 93%. Jumlah orang dewasa yang belum melek huruf: 739 juta (2024). Masih menurut data tersebut, dari 208 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-100 dengan literasi 95,44% dan ternyata posisi Indonesia masih kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina 96,62% di posisi ke-88, Brunei urutan ke-86 dengan 96,66%, dan Singapura urutan ke-84 dengan 96,77%.

Bagi kita bangsa Indonesia, statistik tersebut menunjukkan sebuah ironi yang perlu diwaspadai. Di satu sisi Indonesia menjadi salah satu negara pengguna ponsel pintar terbesar di dunia, namun di sisi lain kondisi literasinya masih tergolong rendah. Artinya, besarnya arus informasi yang masuk ke dalam critical thinking setiap individu manusia di Indonesia tidak dibentengi oleh kemampuan literasi yang memadai.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |