loading...
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengutuk peristiwa penembakan tiga polisi di Way Kanan, Lampung saat gerebek judi sabung ayam. FOTO/DOK.SindoNews
JAKARTA - SETARA Institute mengutuk peristiwa aparat tembak aparat yang terjadi di Way Kanan, Lampung. Tiga anggota Polsek Negara Batin, Way Kanan, tewas ditembak saat melakukan penggerebekan judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Senin (17/3/2025) sore.
Dalam perkembangan terbaru, dua anggota TNI yang diduga sebagai pelaku penembakan telah berhasil ditangkap. Terduga pelaku adalah Peltu L selaku Dansubramil Negara Batin dan Kopka B, anggota Subramil Negara Bantin.
"SETARA Institute mengutuk peristiwa kekerasan terhadap aparat oleh aparat di Way Kanan. Tindakan kekerasan dalam bentuk penembakan, apalagi hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, secara mutlak tidak dapat dibenarkan," kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/3/2025).
SETARA Institute mendesak agar pelaku penembakan di Way Kanan diproses dengan penegakan hukum dengan mekanisme hukum pidana, karena tindakan pelaku tidak ada hubungan sama sekali dengan tugas-tugas kemiliteran. Sebagaimana ketentuan UU TNI yang memandatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diproses dalam kerangka pidana umum.
"Negara, khususnya pemerintah, mesti hadir dengan menegakkan supremasi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Supremasi anggota TNI yang sering tidak mau tunduk pada peradilan umum selama ini menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa," kata Hendardi.
Tragedi berdarah Way Kanan menegaskan bahwa konflik TNI-Polri bersifat laten. Dalam Catatan SETARA Institute tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. Pada awal tahun ini, sudah terjadi 2 kekerasan terbuka di antara dua aparat negara tersebut. Sebelum peristiwa Way Kanan, terjadi penyerangan oleh oknum anggota TNI terhadap Mapolres Tarakan. Fenomena tersebut hanyalah pucak gunung es. Konflik dan ketegangan yang tertutup dipastikan lebih besar dari yang mencuat ke permukaan.
Selama ini, kehadiran negara dalam konflik TNI-Polri hanya bersifat simbolik, elitis, serta tidak mengedepankan supremasi hukum. Di tingkat elit dan kelembagaan TNI-Polri, kondusivitas dan sinergi dilakukan secara artifisial dengan terus mendengungkan Sinergisitas atau Sinergitas TNI-Polri.
Secara lebih substantif, kata Hendardi, negara dan TNI-Polri sendiri harus membangun karakter dan mentalitas TNI-Polri dengan pendekatan yang lebih sistemik, struktural dan kultural sekaligus. Penanganan konflik dan ketegangan antara TNI-Polri harus dilakukan secara substantif dan fundamental dengan membangun kepatuhan anggota TNI-Polri pada disiplin bernegara dan berdemokrasi yang dibangun di atas supremasi hukum dan supremasi sipil.
"TNI-Polri harus menjalankan peran masing-masing dengan tunduk pada konstitusionalisme dan desain konstitusional yang disepakati, di mana masing-masing lembaga harus menjalankan perannya dengan tidak melampaui batas-batas tugas dan fungsi sesuai mandat konstitusionalnya," katanya.
Peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga mesti dialamatkan pada politisi-politisi sipil. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri untuk memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya, yang justru mengekspresikan ketidakpercayaan diri dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka sebagai otoritas sipil.
"Politisi di DPR harus disiplin untuk tidak melaksanakan fungsi legislasi yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu. Hal itu justru akan menimbulkan kekacauan konstitusional dan memicu konflik antar institusi yang semakin dalam," katanya.
(abd)