PUNCAK JAYA - Kelompok bersenjata TPNPB-OPM kembali menebar ancaman dengan menolak pembangunan pos TNI di beberapa wilayah rawan konflik Papua, termasuk Puncak Jaya. Ultimatum yang dikeluarkan pada Selasa (9/12/2025) ini tidak hanya menyasar aparat keamanan, tetapi juga mendesak warga non-Papua untuk meninggalkan wilayah tersebut. Pernyataan sepihak ini dinilai berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah, yang menegaskan bahwa setiap langkah TNI di tanah Papua memiliki landasan hukum konstitusional, undang-undang, serta operasi keamanan negara yang sah.
“TNI hadir di Papua berdasarkan amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Ini bukan tindakan provokatif, melainkan kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya, ” ujar Juru Bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III, Kolonel Inf Rendra Pratama, dalam keterangan resminya.
Ia menekankan bahwa pembangunan pos militer di daerah rawan adalah bagian integral dari operasi pengamanan negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan pos ini krusial untuk mencegah serangan terhadap warga sipil, memastikan kelancaran pembangunan, serta memberikan jaminan keamanan bagi tenaga kesehatan, guru, dan pekerja infrastruktur yang kerap menjadi sasaran kekerasan kelompok separatis.
Mayjen TNI Lucky Avianto, Panglima Komando Operasi Habema (Pangkoops Habema), menegaskan bahwa pendekatan humanis dan pembinaan teritorial menjadi prioritas utama TNI, meskipun menghadapi ancaman nyata. Setiap prajurit di Papua dibekali tugas untuk merangkul masyarakat, bukan menakut-nakuti. “Tugas kami bukan hanya menjaga kedaulatan, tapi juga memastikan masyarakat Papua merasakan kehadiran negara yang melindungi. Pendekatan humanis adalah fondasi operasi kami, ” tegas Mayjen Lucky. Seluruh kegiatan TNI di Papua selaras dengan amanat Inpres Nomor 9 Tahun 2020, yang berfokus pada percepatan pembangunan kesejahteraan Papua melalui dukungan keamanan, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi sosial.
Di sisi lain, serangkaian serangan TPNPB-OPM terhadap warga sipil, termasuk guru, tenaga medis, dan pekerja proyek, dalam beberapa tahun terakhir, dikategorikan sebagai tindakan terorisme sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018.
Pakar Hukum Humaniter Universitas Cenderawasih, Dr. Herlina Kobogau, menyatakan bahwa ancaman dan kekerasan yang ditujukan kepada warga non-kombatan merupakan pelanggaran serius.
“Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional seperti distinction dan proportionality jelas dilanggar. Menyerang warga sipil bukan perjuangan, tapi tindakan kriminal, ” jelas Dr. Herlina.
Ia menambahkan bahwa penggunaan kekerasan membabi buta justru merugikan masyarakat Papua sendiri dan menghambat pembangunan yang sangat dibutuhkan.
Pemerintah kembali menegaskan bahwa TNI akan terus menjalankan tugas sesuai konstitusi dan hukum, dengan akuntabilitas pelaksanaan operasi yang terjamin. Hak asasi masyarakat Papua menjadi prioritas utama negara.
“TNI tidak datang untuk menindas. Kami hadir karena negara wajib melindungi seluruh warga, termasuk saudara-saudara kita di Papua. Justru yang merusak kehidupan masyarakat adalah kelompok bersenjata yang menyerang warga sipil, ” Kolonel Rendra menambahkan.
Di tengah tekanan dan ancaman dari kelompok separatis, TNI memastikan operasi keamanan di Papua berjalan profesional dan terukur. Negara sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi teror dan kekerasan di dalam wilayah NKRI. Kehadiran TNI adalah wujud nyata hadirnya negara bukan untuk menakuti, tapi untuk menjaga; bukan untuk menindas, tapi untuk melindungi.

22 hours ago
4
















































