Teror Atas Perayaan Hanukkah Yahudi di Bondi Beach Australia

4 hours ago 2

loading...

Ridwan al-Makassary, Direktur COMPOSE UIII/Alumni Doktoral LPDP di University of Western Australia (UWA). Foto/Dok. SindoNews

Ridwan al-Makassary
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) UIII
Alumni Doktoral LPDP di University of Western Australia (UWA)

SERANGAN teror yang menyerang kelompok agama tertentu, yaitu kelompok Yahudi, terjadi di Bondi Beach, Australia (13 Desember 2025), negara yang terkenal dengan multikultur dan aman. Komunitas Yahudi sedang merayakan Hanukkah, sebuah perayaan tentang cahaya dan ketahanan, yaitu menjaga keyakinan di tengah tekanan dan penganiayaan diserang dan sekitar 15 orang tewas.

Tersangka awalnya adalah dua orang, ayah dan anak, yang diduga berafiliasi ke ISIS. Saya menonton breaking news peristiwa tragis itu dari siaran langsung CNN dan BBC di pesawat Etihad dari Portugal ke Jakarta setelah mengikuti perayaan KAICIID, lembaga yang berfokus pada dialog agama internasional (8-12 Desember 2025).

Saya berargumen serangan teror ke komunitas agama manapun tidak dibenarkan, termasuk komunitas Yahudi yang diasosiasikan turut bertanggung jawab atas penindasan warga Muslim Palestina. Juga, saya berpandangan bahwa kegiatan dialog antaragama masih diuji batu ujian kesangsian.

Dalam banyak demokrasi liberal, termasuk Australia, multikulturalisme acap diasumsikan telah “selesai”. Negara dianggap netral, hukum menjamin kesetaraan, dan konflik identitas ditempatkan sebagai pengecualian.

Namun, insiden di Bondi Beach mengingatkan kita bahwa netralitas negara tidak otomatis mencegah eksklusi sosial. Kekerasan berbasis identitas kerap tumbuh bukan karena absennya aturan, melainkan karena melemahnya norma-norma yang membatasi bagaimana perbedaan boleh diperdebatkan tanpa berubah menjadi dehumanisasi. Ketika satu kelompok diserang karena identitasnya, yang retak bukan hanya rasa aman kelompok tersebut, melainkan kepercayaan sosial secara keseluruhan.

Sebagai alumni master di Universitas Sydney Australia, yang beberapa kali mengunjungi Bondi Beach, saya mengenal pantai tersebut sebagai satu etalase Australia yang terbuka, santai, dan inklusif, yaitu ruang publik tempat identitas bertemu tanpa harus saling mencurigai. Karenanya, serangan teror yang menargetkan komunitas Yahudi saat perayaan Hanukkah di Bondi Beach bukan sekadar insiden kriminal biasa.

Ia merupakan peringatan keras bahwa kebencian, ketika dibiarkan beredar tanpa penyangga moral dan politik, dapat melampaui batas-batas geografis dan simbolik, lalu mencemari ruang bersama yang seharusnya aman bagi semua. Singkatnya, menyerang komunitas Yahudi yang sedang merayakan momen sakral ini berarti menyerang martabat manusia. Di titik ini, kekerasan tersebut bukan hanya persoalan keamanan, melainkan persoalan nilai: nilai tentang siapa yang dianggap “berhak” hadir di ruang publik.

Pemilihan lokasi oleh pelaku juga sarat dengan muatan makna. Pantai adalah ruang publik yang menunjukkan karakter terbuka, egaliter, dan tanpa prasyarat identitas. Tatkala kekerasan hadir di sana, maka sesungguhnya pesan yang dikirimkan sangat jelas, yaitu keberadaan bisa menjadi alasan untuk diserang, dan visibilitas bisa menjadi risiko.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |