Mesuji — Di tengah gelapnya malam, sebelum listrik menjelma jadi cahaya keseharian, masyarakat zaman dulu hanya bersandar pada penerangan seadanya. Pelita minyak, obor bambu, dan lampu tempel menjadi teman setia mengusir kelam. Namun, tak ada yang lebih ditunggu selain hadirnya bulan purnama—sumber terang alami yang menyatukan harapan dan kehangatan warga desa. Rabu [09/07/25]
Ketika malam datang, suara jangkrik menggema, disambut nyala redup pelita di sudut-sudut rumah papan. Anak-anak duduk melingkar di tikar pandan, mendengarkan kisah-kisah leluhur yang dibisikkan dalam cahaya temaram. Sesekali, angin meniupkan aroma tanah basah dan asap kayu bakar, melengkapi suasana malam yang syahdu.
Namun ada malam-malam yang istimewa—malam di mana langit memancarkan cahaya perak: bulan purnama. Bagi masyarakat tempo dulu, bulan purnama bukan sekadar fenomena langit, tetapi momen sakral yang ditunggu-tunggu. Anak-anak berlarian di pelataran rumah, kaum ibu menjemur hasil bumi, dan para lelaki tua duduk di balai, berbincang hangat di bawah sinar bulan yang menyatu dengan keheningan malam.
“Kalau sudah purnama, rasanya seperti siang hari, ” tutur salah satu tetua desa, mengenang masa kecilnya. “Kami bisa menumbuk padi, menjemur ikan, bahkan mengantar surat hati tanpa takut terantuk batu.”
Di masa itu, bulan purnama adalah lentera langit yang hadir tanpa bayar. Sebuah berkah dari alam yang menyatukan warga dalam suasana gotong royong dan kekeluargaan. Tak ada sinyal, tak ada lampu kota, tapi ada rasa: rasa syukur, rasa dekat, rasa cukup.
Kini, ketika listrik menerangi setiap sudut negeri, kisah tentang malam yang menanti terang bulan nyaris terlupakan. Namun bagi mereka yang pernah hidup di masa itu, cahaya purnama tetap menjadi kenangan paling terang di hati. [Cheudin]