loading...
Fikrul Hanif Sufyan. Foto/Istimewa
Fikrul Hanif Sufyan
Peneliti dan penulis sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam program visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia
GALODO (banjir bandang) kembali menerjang kawasan Lembah Anai pada 27 November 2025. Ini merupakan kali kedua yang terjadi dalam waktu yang berdekatan. Sebelumnya kawasan yang dikenal dengan nama Anai-kloof ini pernah dihantam pada 11 Mei 2024. Namun, banjir bandang kali ini menghantam Jembatan Kembar di Kelurahan Silaing Bawah, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang.
Ada apa dengan banjir bandang kali ini? Siapa yang mesti bertanggung jawab? Gubernur Sumatera Barat menegaskan, izin hak atas tanah yang diberikan Kementerian Kehutanan kepada pihak ketiga sebagai biang keladinya. Namun dalam catatan yang ditelusuri, galodo 2025 adalah bencana terburuk yang pernah terjadi sepanjang kesejarahan banjir bandang terutama di masa kolonial Belanda sampai 2024.
Galodo di Masa Kolonial
Dalam catatan arsip maupun surat kabar di masa kolonial Belanda, belum pernah dijumpai bahwa banjir bandang di Lembah Anai telah menelan korban jiwa, ataupun air bah telah membawa sampah kayu gelondongan.
Banjir pertama tercatat pada Desember 1892. Curah hujan yang tinggi ditambah dengan galodo Gunung Marapi telah meluluhlantakkan Lembah Anai. Tidak hanya tanah longsor, berjatuhannya batu berukuran besar, banjir bandang ikut menghancurkan jalur kereta api, dinding penahan, jembatan kereta api, penyangga, rumah-rumah dan jalan pos yang baru diresmikan pada 1891. Akibatnya, komunikasi terputus berbulan-bulan. Biaya perbaikan untuk infrastruktur kereta api pun tidak tanggung-tanggung, yakni f 500.000 (lima ratus ribu gulden) (Sumatra-courant, 3 Januari 1893).
Banjir kedua terjadi pada Januari 1904. Berselang dua belas tahun kemudian, kembali galodo menghondoh. Padahal, rehabilitasi untuk kereta api belumlah rampung di Lembah Anai. Bila dulu galodo Gunung Marapi dijadikan "kambing hitamnya", di awal Januari 1904, curah hujan yang tinggi menjadi penyebab tunggalnya.
Baca Juga: Polisi dan Warga Gendong Peti Jenazah Korban Banjir di Lembah Anai lewat Jalan Setapak
Kereta api No. 11 dari Padang masa itu menuju Padang Panjang. Baru saja "mak itam" melewati jembatan besar di Tambun Tulang, tiba-tiba lokomotif uap itu dipaksa berhenti. Masinis melihat penyangga di sisi Padang-Panjang telah ambruk karena dihantam aliran Batang Anai. Masinis mau menanggung risiko, memilih untuk memundurkan lokomotifnya.
Para penumpang, di antaranya beberapa orang perempuan serta regent Padang, terpaksa bermalam di gedung halte Kampung Tengah. Keesokan harinya, para penumpang terpaksa untuk melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer. Dari Padang Panjang menuju Fort de Kock (baca: Bukittinggi), mereka pun menumpang auto bus ataupun kuda bendi (Sumatra Bode, 3 Februari1904).
Jembatan dengan konstruksi setengah parabola pun ambruk. Keesokan harinya, orang-orang yang bermukim di sekitar Lembah Anai melihat beberapa sisa-sisa galodo, terutama untuk jembatan besar itu telah patah dan jatih ke dasar Batang Anai (de Sumatra post, 2 Februari 1904).
Tidak hanya meruntuhkan infrastruktur kereta api di Tambun Tulang, jembatan di atas Batang Anai dekat Air Putih, juga ambruk. Efek buruk lainnya dari galodo awal Januari 1904 adalah terputusnya komunikasi telegraf antara kawasan Padangsche Bovenlanden (dataran tinggi Padang) dan Pantai Timur Sumatera telah terputus. Apa yang terjadi? Rupanya galodo menyebabkan kabel-kabel telegraf terputus dan tiang-tiang besi telah berjatuhan akibat pohon-pohon yang tumbang.

















































