Jejak Perdamaian Dunia dari Bumi Jawa dan Warisan Djuyoto Suntani

13 hours ago 2

Surabaya -  Di tengah pusaran arus globalisasi yang menghadirkan persaingan, konflik, dan ketidakpastian, kerinduan akan perdamaian dunia abadi terus membara dalam sanubari sebagian umat manusia.

Gagasan ini seringkali dianggap sebagai utopia belaka, sebuah mimpi indah yang sulit dijangkau di tengah realitas dunia yang penuh dengan intrik dan kepentingan yang bertentangan.

Namun, di balik keraguan tersebut, selalu ada individu-individu visioner yang tak kenal lelah mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan mimpi mulia ini menjadi kenyataan.

Salah satu sosok inspiratif tersebut adalah HE Mr. Prof. Dr. Djuyoto Suntani, seorang putra bangsa Indonesia yang dikenal luas sebagai "Presiden Dunia" dan pendiri organisasi The World Peace Committee (WPC).

WPC bukanlah sekadar organisasi biasa. Ia lahir dari sebuah visi besar, sebuah cita-cita luhur untuk membangun peradaban baru di mana seluruh umat manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis, layaknya sebuah keluarga besar yang mendiami satu planet bumi yang sama.

Gagasan ini muncul dari kedalaman pemikiran seorang Djuyoto Suntani, yang tumbuh besar di tengah kesederhanaan desa Jepara, Jawa Tengah. Pengalaman masa kecil yang sarat dengan perenungan tentang makna persatuan, kebersamaan, dan esensi kehidupan diyakini kuat membentuk pandangan dunianya dan menjadi fondasi bagi lahirnya WPC.

Perjalanan mewujudkan visi tersebut mencapai titik penting pada tanggal 7 Maret 1997 di Basel, Swiss. Di kota yang dikenal netral dan sebagai pusat diplomasi internasional ini, The World Peace Committee secara resmi dideklarasikan.

Inisiatif pendirian ini dipelopori oleh sembilan tokoh dunia terkemuka dari sembilan negara dengan Djuyoto Suntani tampil sebagai nahkoda dan pemimpin gerakan ini. Pemilihan Swiss sebagai lokasi deklarasi tentu bukan tanpa alasan, mengingat reputasinya sebagai tempat yang kondusif untuk dialog dan negosiasi lintas batas.

Visi utama yang diemban oleh WPC sangatlah ambisius namun mulia: "Membangun Peradaban Baru Satu Keluarga Bumi dengan Hati". Visi ini kemudian diterjemahkan ke dalam misi yang jelas, yaitu untuk menyatukan seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, dan ideologi, mengatasi segala bentuk konflik dan perselisihan, serta membangun tatanan dunia yang damai, adil, dan sejahtera bagi seluruh penghuni planet ini.

Salah satu keunikan WPC terletak pada struktur keanggotaannya yang inklusif dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat global.

Pada masa-masa awal pendiriannya (1997-1999), sebuah langkah revolusioner diambil dengan menetapkan seluruh Kepala Negara di dunia secara otomatis sebagai Anggota Kehormatan WPC, lengkap dengan penerbitan "Kartu Anggota". Langkah ini menunjukkan betapa besarnya harapan WPC untuk merangkul seluruh pemimpin dunia dalam upaya kolektif mencapai perdamaian.

Lebih jauh lagi, WPC mengembangkan sistem kepemimpinan internasional yang dipilih secara kolektif oleh perwakilan dari 202 negara. Jumlah ini bahkan melampaui jumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengindikasikan jaringan global yang sangat luas yang dimiliki oleh organisasi ini. Kekuatan jaringan internasional ini menjadi modal penting bagi WPC dalam menjalankan berbagai program dan inisiatifnya di berbagai belahan dunia.

Sebagai simbol visual yang kuat dari visi dan misi WPC, lahirlah Gong Perdamaian Dunia. Inisiatif yang berakar dari bumi Indonesia ini diadopsi secara internasional pada tanggal 5 Februari 2003 di Geneva, Swiss, sebagai "Satu-satunya Alat Persaudaraan dan Pemersatu Umat Manusia di Planet Bumi Sepanjang Masa".

Lebih dari sekadar artefak seni yang indah, Gong Perdamaian Dunia menjelma menjadi representasi tangible dari persatuan, harmoni, dan komitmen global terhadap perdamaian.

Replika gong ini telah ditempatkan di berbagai lokasi strategis di seluruh dunia, termasuk di wilayah-wilayah yang pernah dilanda konflik, berfungsi sebagai pengingat abadi akan pentingnya resolusi damai dan rekonsiliasi.

Di Indonesia sendiri, Gong Perdamaian Dunia dapat ditemukan di Bali sebagai simbol perdamaian pasca tragedi bom yang mengguncang, di Ambon sebagai simbol rekonsiliasi antar komunitas yang sempat berseteru, serta di berbagai lokasi penting lainnya.

Bahkan, Museum Gong Perdamaian Dunia didirikan di Jepara, Jawa Tengah, tanah kelahiran Djuyoto Suntani, dan telah menjadi daya tarik wisata internasional bagi mereka yang mengagungkan nilai-nilai perdamaian. Selain itu, Gong Perdamaian Asia-Afrika berdiri megah di Gedung Merdeka, Bandung, sebagai simbol peringatan Konferensi Asia Afrika yang bersejarah.

Di bawah kepemimpinan visioner Djuyoto Suntani, WPC aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dan inisiatif yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan dunia.

Meskipun rincian detail dari seluruh kegiatan WPC mungkin tidak selalu terpublikasi secara luas, beberapa catatan menunjukkan keterlibatannya dalam upaya mediasi konflik antar negara dan kelompok.

Djuyoto Suntani sendiri pernah mengungkapkan peran WPC dalam menjembatani perbedaan antara pemerintah Kolombia dan kelompok pemberontak FARC, di mana penempatan Gong Perdamaian Dunia di Paipa, Kolombia, menjadi simbol harapan akan persatuan.

Selain itu, WPC secara aktif mempromosikan nilai-nilai perdamaian, toleransi, saling pengertian, dan kerjasama antar umat manusia melalui berbagai forum, konferensi internasional, dan publikasi.

Inisiatif simbolis seperti penempatan Gong Perdamaian Dunia di berbagai lokasi strategis juga menjadi cara efektif untuk menyebarkan pesan perdamaian secara global. Lebih jauh lagi, WPC mencetuskan gagasan tentang Kode Etik Internasional yang mencakup Etika Dunia, Bahasa Dunia, dan Hukum Dunia sebagai landasan moral dan operasional bagi peradaban baru yang diidamkan.

Namun, perjalanan panjang WPC dalam mewujudkan mimpinya harus menghadapi kenyataan pahit. Pada tanggal 18 Januari 2021, HE Mr. Prof. Dr. Djuyoto Suntani, sosok pendiri dan pemimpin karismatik yang menjadi ruh dari organisasi ini, berpulang ke rahmatullah. Kehilangan ini tentu menjadi pukulan telak bagi WPC, meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang besar dan tantangan berat untuk melanjutkan visi dan misinya tanpa kehadiran sang inspirator.

Masa depan WPC kini berada di persimpangan jalan. Kemampuan organisasi ini untuk mempertahankan relevansi dan efektivitasnya dalam mempromosikan perdamaian dunia akan sangat bergantung pada soliditas internal, kemampuan adaptasi terhadap perubahan zaman, dan komitmen yang kuat dari para anggota dan pengurusnya untuk meneruskan warisan sang pendiri. Tantangan untuk tetap menjadi kekuatan yang signifikan dalam kancah perdamaian global akan menjadi ujian sesungguhnya bagi WPC.

Terlepas dari berbagai perspektif dan penilaian yang mungkin muncul terhadap sepak terjang WPC, tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif yang didirikan oleh Djuyoto Suntani ini lahir dari idealisme yang tulus dan keinginan kuat untuk melihat dunia yang lebih damai. Visi "Satu Keluarga Bumi" dan simbol Gong Perdamaian Dunia telah menjadi representasi nyata dari upaya ini, memberikan kontribusi dalam menyebarkan pesan perdamaian dan persatuan di berbagai belahan dunia.

Kepergian Djuyoto Suntani memang meninggalkan warisan berupa organisasi dengan jaringan global yang luas dan simbol perdamaian yang kuat. Namun, warisan yang lebih berharga adalah inspirasi yang telah beliau tanamkan dalam benak banyak orang untuk terus berjuang mewujudkan peradaban dunia yang lebih damai dan harmonis, sesuai dengan cita-cita luhur yang beliau perjuangkan sepanjang hidupnya.

Dedikasi Djuyoto Suntani terhadap gagasan perdamaian dunia patut untuk diapresiasi dan dikenang, serta menjadi sumber motivasi bagi upaya-upaya perdamaian di masa kini dan yang akan datang.

Semangat beliau akan terus hidup dalam setiap dentingan Gong Perdamaian Dunia yang bergema di berbagai penjuru planet ini, mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan harmoni dalam mewujudkan impian akan dunia yang damai abadi.

Surabaya, 6 April 2025

Dedik Sugianto
Direktur Media WPC Indonesia.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |