Efektivitas Stimulus Ekonomi

5 hours ago 4

loading...

Adhitya Wardhono, PhD. Foto/Istimewa

Adhitya Wardhono, PhD
Dosen dan peneliti ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember.

STIMULUS ekonomi pemerintah awal tahun 2025 dengan serangkaian penyaluran bantuan sosial (bansos), seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan penyerapan gabah atau beras dari petani telah mengalir. Bahkan, tujuh stimulus ekonomi hadir di Bulan Puasa dan Lebaran kemarin. Deretan stimulus ini diyakini mendorong daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan memicu pertumbuhan ekonomi.

Beberapa tahun terakhir, kita juga menyimak bagaimana kebijakan stimulus ekonomi menjadi alat utama pemerintah menghadapi krisis. Pandemi global memaksa negara-negara merespons cepat dengan regulasi seperti bantuan tunai langsung, perluasan jaring pengaman sosial. Serta berbagai ikhtiar masif mendorong konsumsi domestik memutar roda ekonomi. Tapi apakah semua stimulus memiliki dampak yang sama? Dan pertanyaan ikutannya, apakah setiap rupiah stimulus memberikan hasil terbaik dalam hal pertumbuhan ekonomi?

Pertanyaan ini bukan sekadar teknis fiskal. Ini menyangkut efektivitas penggunaan uang publik, keadilan distribusi, dan dampak jangka panjang terhadap inflasi. Karena, siapa yang menerima stimulus jauh lebih penting daripada sekadar berapa besar jumlahnya.

Banyak kebijakan stimulus dirancang secara merata, semua rumah tangga mendapatkan nominal yang sama. Pendekatan ini dianggap adil, cepat, dan mudah dikelola. Namun kenyataannya, tidak semua kelompok masyarakat bereaksi sama terhadap bantuan yang diberikan. Perbedaan kondisi ekonomi rumah tangga menyebabkan perbedaan dalam perilaku konsumsi. Inilah kunci yang menjadi pusat perhatian teori Heterogeneous Agent New Keynesian (HANK), sebuah pendekatan baru ekonomi makro kanonik yang menekankan pentingnya memahami ketimpangan, kekayaan dan perbedaan perilaku rumah tangga dalam menjelaskan dampak kebijakan makroekonomi.

Rumah tangga tidak dipandang sebagai agen ekonomi tunggal yang homogen. Mereka adalah kumpulan individu dengan kekayaan, pendapatan, dan preferensi yang berbeda-beda. Konsekuensinya, saat pemerintah memberikan stimulus, respons dari tiap kelompok bisa sangat berbeda. Rumah tangga berpendapatan rendah atau dengan aset terbatas cenderung segera membelanjakan uang yang mereka terima. Dalam istilah ekonomi, mereka memiliki kecenderungan konsumsi marginal (marginal propensity to consume -MPC) yang tinggi. Setiap tambahan uang langsung diarahkan untuk kebutuhan pokok: membeli makanan, membayar tagihan, atau memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Uang mengalir langsung ke sektor riil dan mendorong permintaan.

Baca Juga: Keyakinan Konsumen Terhadap Kondisi Ekonomi Mulai Terkikis di Maret 2025, Begini Kata BI

Sebaliknya, rumah tangga berpendapatan tinggi atau yang sudah memiliki cukup tabungan cenderung menyimpan tambahan pendapatan. Mereka memiliki kecenderungan konsumsi marginal rendah. Artinya, jika stimulus diberikan kepada kelompok ini, dampak langsung terhadap konsumsi, dan dengan demikian terhadap pertumbuhan ekonomi, menjadi lebih kecil.

Konsepsional teori HANK menunjukkan bahwa meskipun dua kebijakan stimulus menghasilkan jumlah defisit yang sama dan menciptakan inflasi yang serupa, output atau pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan bisa sangat berbeda, tergantung pada siapa yang menerima stimulus. Dengan kata lain, rasio antara pertumbuhan dan inflasi, yang sering disebut rasio pengorbanan (sacrifice ratio), menjadi jauh lebih menguntungkan jika stimulus diarahkan ke rumah tangga dengan kecenderungan konsumsi marginal tinggi.

Fenomena ini sangat relevan ketika melihat situasi Indonesia saat ini. Pemerintah telah menjalankan berbagai program bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga subsidi energi kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam jangka pendek, program-program ini memang menimbulkan tekanan inflasi, terlebih di tengah naiknya harga pangan dan energi global. Namun, jika stimulus tersebut mampu menjaga konsumsi rumah tangga dan menggerakkan sektor riil, maka tekanan inflasi itu adalah harga yang layak dibayar demi pertumbuhan.

Sebaliknya, ketika stimulus lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang justru menambah tabungannya, efeknya terhadap perekonomian riil jauh lebih lemah. Uang berputar lebih lambat, konsumsi tidak naik signifikan, dan stimulus kehilangan fungsinya sebagai "pengungkit". Inilah yang menjadi perhatian utama dalam model HANK, yang menunjukkan bahwa efektivitas stimulus sangat ditentukan oleh distribusinya, bukan hanya totalnya.

Read Entire Article
Masyarakat | | | |