loading...
Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.
Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
SETIAP tanggal 10 Desember, dunia memperingati lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). Dokumen yang ditandatangani pada 1948 itu dihormati sebagai tonggak ketika umat manusia yang baru saja keluar dari kengerian perang bersedia menyepakati satu hal: bahwa setiap orang—tanpa memandang ras, identitas, atau kewarganegaraan—memiliki martabat yang tidak dapat dicabut oleh kekuasaan mana pun. Namun, tujuh puluh enam tahun setelah deklarasi itu disahkan, kita justru hidup dalam dunia yang semakin ragu pada universalitasnya. Nilai yang dulu dibayangkan sebagai fondasi bersama kini sering tampil sebagai wacana yang dipertanyakan, digugat, bahkan dipolitisasi.
Dunia hari ini bekerja dengan logika baru: logika algoritmik yang menyaring apa yang kita lihat, apa yang kita pedulikan, dan siapa yang kita anggap penting. Ironisnya, politik global pun memiliki algoritma serupa— algoritma kemanusiaan—yang secara halus mengurutkan kehidupan siapa yang dianggap layak dilindungi dan siapa yang dapat dibiarkan tenggelam dalam statistik tanpa nama.
Menyongsong 10 Desember, pertanyaan besar yang patut kita ajukan bukan lagi, “apakah HAM masih relevan?”, tetapi “siapa yang mengendalikan algoritma kemanusiaan hari ini?” Siapa yang menentukan kehidupan mana yang diangkat dan mana yang diabaikan?
Baca Juga: Memahami Hak Asasi Manusia
HAM sejak awal disusun sebagai bahasa universal yang melampaui perbedaan. Namun dalam praktik hubungan internasional, bahasa ini tidak pernah benar-benar bebas dari kepentingan. Negara bisa mengutip UDHR ketika mengkritik negara lain, tetapi mengabaikannya ketika kepentingan strategisnya terancam. Pelanggaran HAM di satu wilayah dapat memicu kemarahan global, sementara pelanggaran serupa di wilayah lain tenggelam di balik kata-kata “situasi kompleks” atau “konteks keamanan”.
















































